Setiap individu memiliki hak penuh untuk bisa menjalani proses yang nyaman dan penuh dukungan dalam
upaya mengenali dan
mengidentifikasi diri sendiri. Tak
terkecuali bagi golongan minoritas secara seksual. Salah satu fase perjuangan berat yang harus mereka
lewati adalah penerimaan diri. Tetapi sayang, pandangan-pandangan diskriminatif
dan menyudutkan dari masyarakat umum tak jarang membuat mereka bingung dengan
jati dirinya. Bahkan tak sedikit yang akhirnya malah membenci diri sendiri. Berada
di tengah kepungan mayoritas yang menolak keberagaman bisa menimbulkan perasaan
terasingkan. Maka dari itu, kehadiran orang-orang yang bersedia membuka diri
untuk menjadi tempat berbagi sangat mereka butuhkan.
Berawal dari kebutuhan itu, terbentuk sebuah kelompok diskusi kecil-kecilan.
Mulanya hanya berupa lingkar pertemanan berisi kawan berbagi bergelas-gelas
cokelat dan kopi. Lambat laun
lingkaran itu tumbuh makin dekat dan akrab hingga menjadi tempat yang nyaman
untuk berbagi cerita dalam konteks senasib-sepenanggungan, tentunya dengan penghormatan penuh pada proses
dan jalan pilihan masing-masing orang.
Lingkaran mungil itu terdiri dari Ayu Octariani, seorang Penyintas
HIV yang aktif dalam segala upaya membela
terpenuhinya hak ODHA dan perempuan di Indonesia; Firdhan Aria Wijaya, seorang akademisi yang sering mengangkat isu-isu terkait minoritas seksual dalam kerja-kerja literasinya; Syam Khadarisman, seorang penyintas
kekerasan seksual yang tengah
berproses untuk berdamai, menerima, dan mengasihi dirinya sendiri; Abi Ardianda, sosok Trans Puan Indonesia yang tak hanya telah membagi kepiawaian
bercerita tetapi juga banyak sekali inspirasi melalui buku-bukunya yang telah terbit; Indra Sahril, seorang doker muda spesialis anak yang memiliki renjana untuk
memahami tumbuh kembang anak dan pembentukan
kepribadian seorang manusia sejak
usia begitu dini, ia kerap
berbagi pemahamannya dari sisi medis maupun pengalamannya pribadi.
Menyadari banyaknya kegelisahan-kegelisahan yang dialami golongan minoritas seksual, obrolan-obrolan di kelompok diskusi
kecil kami bermuara pada tercetusnya ide untuk membentuk sebuah wadah yang berfungsi sebagai kelompok
belajar bersama. Bukan untuk saling menggurui, tapi saling berbagi. Berbagi
cerita maupun perspektif berpikir dari berbagai sudut pandang. Wadah itu kami namai Panggung Minoritas, sebuah arena terbuka bagi mereka yang bersedia untuk mendengar dan
didengarkan. Wadah untuk bisa berbagi
dan menerima dengan aman,
nyaman tanpa ada penghakiman. Memberi kesempatan bagi setiap partisipan untuk
akhirnya mampu menjadi diri yang utuh dan sesungguh-sungguhnya individu.
No comments:
Post a Comment