Tuesday, April 04, 2017

Saya Adalah Korban Pelecehan Seksual Pada Anak.

  
Sekilas, saya tengah mendapati photo masa kanak-kanak saya. Dibalik senyum malu-malu kala itu, saya sudah menyimpan ingatan kelabu yang terus mengganggu. Sampai kini. 


Kejadiannya sesederhana, saat itu saya mempunyai kakak sepupu dengan tantangan keterbelakangan mental. Saat itu ia sudah memasuki masa remaja, dan bersekolah di SLB C Tunagrahita. Suatu hari ia pulang kerumah kakek kami bersama teman sekolahnya dari SLB. Entah kenapa temannya itu seperti menyukai saya, selalu mendekati saya, mengajak saya bermain dengan caranya. Sampai setelah beberapa lama, dia mulai peluk-peluk saya, lalu didalam ruang tamu, di rumah kakek saya, sambil duduk, ia memaksa saya untuk duduk dipangkuannya. Ada orang-orang dewasa disekitar saya saat itu, tetapi sepertinya mereka menangkap moment lucu saja, tak memperhatikannya dengan seksama. Sekedar pandangan ada anak remaja yang walaupun dengan keterbelakangan mental, mengajak bermain seorang anak kecil, yang adalah saya. 

Padahal, ketika itu, saya sangat bingung. Ketika duduk dipangkuannya sambil dipeluk, saya mendapati dada saya sesak, karena dia peluk saya dengan begitu eratnya. Bahkan untuk seukuran anak saat itu, saya tahu bahwa pelukan itu tidak wajar. Disisi lain, saya juga mendapati diri bingung, mendapati dibagian pantat saya ada yang sesuatu yang menonjol mendorong-dorong begitu kerasnya, dan digesek-gesekannya kebelahan pantat saya. Walaupun saat itu saya tetap bercelana. Lalu saya memalingkan wajah saya, mendapati raut wajah dia yang cengar-cengir bahagia. Saya merasa tak berdaya. Sisanya saya tetap ingat dengan bingung hanya bisa menatap tembok biru muda ruang tamu di rumah kakek saya. Setelahnya, entah kenapa, sebagai seorang anak yang saya rasakan adalah begitu malu. Memberikan dampak yang tidak sederhana bagi saya, pemicu segala kerumitan perjalanan hidup saya.

Kejadian dan perasaan saya ketika itu, tak pernah hilang dari ingatan saya. Sampai kini. Saya ingin ceritakan kepada orangtua, atau kepada siapa saja, tapi saya bingung. Karena untuk ukuran saya yang sebagai anak saat itu, saya tak tahu itu apa. Apa yang harus diceritakan. Dan terutama, bagaimana menceritakannya. 

Saya sangat mencintai kedua orangtua saya. Sungguh, saya mencintai mereka. Bersedia saya korbankan nyawa saya untuk keselematan keduanya. Tapi terkadang, bahkan hubungan antara orangtua dan anak bisa terdapat jarak karena keadaan dan konflik karakter mencolok yang seperti terlihat jauh berbeda padahal justru karena sama. 

Masa kecil saya, sampai usia SD, saya jarang berjumpa ayah saya karena pekerjaannya yang saat itu mengharuskan tugas ke beberapa daerah di berbagai penjuru Indonesia berbulan-bulan lamanya, pulang untuk beberapa saat, lalu pergi lagi. Sehingga ketika ayah saya pun akhirnya bisa bekerja dengan menetap disatu kota saja, hubungan saya dan ayah sudah terlanjur tak begitu dekat. Dan masa kecil saya, saya habiskan dengan senang berada di lingkungan pria-pria dewasa. Saya kecil dikenal sebagai anak lincah dan periang. Sesungguhnya, itu adalah cara saya memikat hati orang-orang dewasa agar suka dan mau ada didekat saya. Walaupun akhirnya lincah dan cerianya saya disalahartikan oleh teman-teman sebaya. Sehingga saya tahu, saya kecil, saya tidak begitu disukai teman-teman lelaki sebaya saya, lalu mem-bully saya. Tapi saya kecil, saya tak perduli. Sejak SD senang ikut organisasi PMR sampai Pramuka karena banyaknya kakak-kakak mahasiswa yang jadi pembina. Senang masuk program Pembinaan Anak Salman (PAS) ITB, ya karena saya bisa menjadi nyaman dan dekat dengan kakak-kakak mahasiswa pembimbingnya. Merengek minta masuk Taekwondo Wadokai, juga karena alasan bahwa agar saya bisa banyak bergaul dengan kakak-kakak mahasiswa pelatihnya. 

Ketika masuk usia saya remaja, saya mulai bisa memahami apa sebenarnya yang terjadi dengan kejadian masa kecil itu, dan mengapa saya begitu nyaman dan berusaha mencuri perhatian pria-pria dewasa. Saya butuh perlindungan. Saya tengah mencari-cari perlindungan. Dari mereka yang dewasa, pintar, dan terutama kuat. Lalu amarah itu mulai muncul, gejolak remaja dengan segala tantrum-nya saya alami. Saya menjadi remaja pendiam, tertutup, tapi pemarah, didalam hati saya mulai menyimpan dendam. Muncul keinginan menemukan laki-laki itu dengan seringai cengar-cengirnya yang sudah memberi saya sebegitu banyaknya mimpi buruk ketika kecil. Tapi tak tahu kemana dan dimana. 

Disaat yang bersamaan, mulai sering muncullah konflik antara saya dengan Ibu saya. Ibu saya menuntut dan sesungguhnya tengah berusaha mencoba mengerti kemana perginya anak laki-laki kesayangannya yang lincah dan periang berubah menjadi anak yang pendiam, tertutup, dan pemarah, yang justru seringkali mengarah pada terjadinya konflik diantara saya dan ibu saya ketika itu. Bersamaan pula, saya sering mendapati ayah saya yang sepertinya begitu sayang kepada kakak sepupu saya itu, sering saya mendapati kejadian ayah saya mencandai kakak sepupu saya. Lalu mereka tertawa bersama. Menimbulkan amarah untuk saya. Mulailah pula saya lampiaskan amarah dan dendam saya kepada kakak sepupu saya. Ia yang sudah membawa teman sialannya datang dan melukai psikologi saya begitu dalam. Tetapi dia justru mendapatkan perhatian sayang dari ayah saya. Sering saya berimajinasi, bahwa seharusnya ayah saya melindungi saya, memukuli kakak sepupu saya habis-habisan yang sudah membawa teman sialannya itu, bukannya bercanda dan tertawa bersama. Sayapun merasakan bahwa ayah saya mendapati ketidaksukaan saya akan sepupu saya itu. Kembali keinginan saya untuk ceritakan semuanya, tetapi entah kenapa selalu tak berdaya. Rasa malu yang begitu besar mengalahkan saya. Terutama, ada pula perasaan tak tega bagi saya jika membiarkan orangtua saya tahu, akan menjadi hancur bagaimana hati kedua orangtua saya nantinya. 

Saya remaja, usia SMA dan kuliah, pelarian saya berubah. Yang saya cari adalah sosok ibu. Maka saya menjadi begitu sangat dekat dengan beberapa Ibu dari beberapa teman-teman SMA dan kuliah saya saat itu. Bagi saya saat itu, saya butuh sosok ibu yang bisa netral karena tak mengenal saya sedari kecil, tentang bagaimana perubahan saya dan karkater-karakter saya. Sehingga karena bukan ibu kandung saya, tak perlu ada konflik, tapi saya tetap bisa temukan kasih sayang ibu yang menjadi pelindung dan penentram yang saya perlukan saat itu. Ibu Wenda, Kak Laurenta, Opung, Tante Susi, dan Sandy Smith, adalah 5 sosok-sosok ibu kedua bagi saya sampai kini. 

Memasuki usia dewasa, dengan segala pertarungan dengan diri sendiri, dan seorang diri, saya mulai mencari pertolongan professional. Beberapa kawan terdekat saja yang saya rasai nyaman untuk saya ceritakan dan menjadi sandaran. Saya merasa perlu berdamai dengan diri saya sendiri. Bahkan akhirnya saya pula bertemu kembali dengan salah satu teman SMA, yang ketika itu, dia teman wanita SMA saya tapi selalu berpenampilan sangat maskulin, dan saya, entah kenapa, seringkali merasakan koneksi dengannya. Setelah dewasa dan kami berjumpa kembali, akhirnya kami sadari bahwa kami punya pengalaman masa kecil yang sama. Dilecehkan secara seksual oleh pria dewasa. Dengan saling berbagi itu, salah satu proses penerimaan dan berdamai pada diri sendiri juga mulai saya alami. 

Beberapa anggota keluarga dan kerabat mungkin mendapati saya sebagai seorang yang cenderung SARA ketika saya melewati fase dendam membara kepada kakak sepupu saya sebagai pelampiasan. Akhirnya saya hanya bisa biarkan saja, tak pernah juga kuasa bercerita bahwa bukan karena ia seorang dengan keterbelakangan mental saya pernah begitu tak suka dan marah sampai dendam padanya. Bahkan beberapa kali saya mendapati diri dengan senang hati menerima ajakan menjadi sukarelawan pada yayasan untuk anak dengan keterbelakangan mental atau berkebutuhan khusus, bahwa saya memiliki compassion dan affections kepada mereka. Dan itu adalah tulus. Bersyukur pula, saya tidak pernah punya dendam untuk membalas dengan perbuatan yang sama kepada siapapun juga. Saya bahkan sangat menyukai anak-anak. Sangat berkeinginan untuk nantinya punya anak sendiri, dan dengan pengalaman ini, membuat saya lebih tahu bagaimana cara melindungi anak saya nantinya. 

Sempat pula, bertahun-tahun lamanya, saat saya kira saya sudah berhasil berdamai dengan diri saya sendiri. Ternyata tidak. Tahun 2016 lalu, ketika petaka menimpa hidup saya, membuat kalut dan emosi yang tidak stabil, lalu berjumpa lagi kakak sepupu saya, amarah dan dendam yang saya pernah kira sudah berhasil saya atasi, datang kembali. Maka bertamu kembali sang siksaan derita. Sering saya kemudian mengurung diri, memutus hubungan kepada dunia berhari-hari. 

Hingga akhirnya beberapa minggu lalu, saya yang kemudian percaya bahwa tak ada pertemuan dan peristiwa yang sia-sia dan percuma, dibantu kuasa alam semesta, dipertemukan oleh seseorang. Perjumpaan yang tadinya sekedar untuk jumpa urusan kerja biasa, begitu saya tahu ia juga adalah seorang pengajar SLB  C Tunagrahita, maka dengan serta-merta, luruh kembali semua saya ceritakan padanya pengalaman masa kecil saya. Dengan sabar, dia membantu saya mengerti psikologis seseorang dengan keterbelekangan mental Tunagrahita. Dan bisa saya kembali raih perdamaian hati saya. 

Sudah berhari-hari tulisan ini saya simpan dalan draft blog saya, jika akhirnya ada yang bisa membacanya, maka sudah muncul pula keberanian saya untuk meng-klik tombol publish

Sekarang saya tahu, tak akan pernah bisa sepenuhnya saya menerima dan berdamai dengan diri saya sendiri tentang pengalaman buruk saya ini. Bahkan hingga tua saya nanti, hingga saya mati. 

Tapi kali ini, sudah ada tak ada lagi malu dalam diri saya. Dan kali ini, saya merasa perlu menceritakannya. Kepada siapa saja alam semesta membiarkan cerita ini terbaca. Bisa saja cerita saya ini menjadi setitik manfaat. 

Kita hidup di sebuah bangsa yang mengusung banyak tabu. Terdidik sedari kecil untuk malu pada semua yang berhubungan dengan alat-alat vital pada tubuh kita. Maka ketika ini terjadi pada saya, yang saya tahu untuk saya lakukan adalah dengan menjadi malu, dan begitu sangat malu. Begitu pula dalam lingkungan pergaulan, terutama pergaulan lelaki, obrolan alat vital adalah sebatas candaan, bahkan menjadi bahan olok-olokan. Sehingga saya tumbuh dengan tidak memiliki ruang untuk berbicara. Padahal ini adalah penting untuk dibicarakan. 

Semoga juga akan hadir keberanian bagi saya nantinya untuk bisa berdamai dengan keluarga, ketika saya tahu, bagaimana menyampaikan cerita yang tanpa harus menyakiti, menyalahkan, atau meremukkan hati kedua orang tua dan keluarga saya. Untuk waktu yang tepat nanti. 

Dan untuk yang membaca dan mengenal saya, yang mungkin pernah mendapati keganjilan pada karakter saya, atau ketidakmengertian kalian akan beberapa pilihan hidup saya yang bisa saja kalian anggap tak biasa atau bahkan tak lazim, dengan cerita ini, semoga akhirnya saya dimengerti. Dan berhenti mempertanyakan atau memberi pernyataan kepada saya untuk hal-hal yang kalian anggap biasa, justu bagi saya adalah tak lazim. 

Dan jangan coba-coba berbicara pada saya soal agama. Bukan berarti saya tak pernah berusaha mencoba. Apapun pilihan dan penilaian saya soal agama, bukan urusan anda. 


Salam piss, love, and gaol sahaja! Ahahahahaha.. 

No comments:

Post a Comment