Tuesday, December 22, 2009

KEJU TIDAK SELALU LEBIH BAIK DARI SINGKONG!





Melihat kebenaran, mengupayakan kebenaran, dan bertindak atas nama kebenaran..

Apakah sebuah hal yang mutlak bahwa suatu hitam dan putih dapat diuraikan satu-persatu dengan penilaian-penilaian?
Atau bagian dari bentuk pembenaran palsu atas suatu kenyataan?

Harga diri sebagai suatu hal yang layak dipertahankan atau atau sebagai kewajiban untuk diperjuangkan?

Ketika kembali pada wujud ketidakberdayaan, jika kepemilikan angka-angka sebagai ukuran kekuasaan, kuekuatan, dan ukuran membabi-buta membentuk kelas-kelas, tingkatan-tingkatan, dan pada akhirnya hanya menggolong-golongkan.

Superior dan inferior
Pemberi derita dan penikmat derita
Pemberi janji dan pengharap perwujudan janji
Pemberi nilai dan pemburu nilai

Dan bentuk-bentuk dualitas kenyataan-kenyataan lainnya yang tidak akan ada henti-hentinya, melainkan tambahan berbagai upaya kompromi dan merelakan diri antara derita hati dan kenyataan-kenyataan tanpa daya yang diakhiri dengan sebuah pernyataan mempertanyakan: "Siapa suruh??"

SIAL!!


Saturday, December 19, 2009

Ketika si Syam sedang banyak bertanya. (Gandeng Syam!!)


Seringkali saya mendengar, membaca, atau bahkan melihat berbagai cerita, baik sekedar fiktif ataupun memang sebuah fakta hidup tentang kisah seorang manusia. Tentang bagaimana hebatnya seorang manusia karena memang terlahir untuk menjadi "Si Hebat" dan mampu menjadi sumber inspirasi bagi berjuta manusia lain untuk dapat bisa menjadi sepertia dia, atau sedikitnya berharap untuk dapat bertukar takdir dengan dia…

Atau sebaliknya, cerita tentang bagaimana menderitanya ataupun bagaimana tersisihnya hidup seorang manusia menghasilkan berjuta rasa iba manuisa-manusia lainnya atas segala perjalanan hidup yang begitu penuh dengan caci dan perlakuan yang menunjukkan pandangan tanpa arti dari sekelilingnya. Hingga pada suatu ketika, perjalanan itu pun berbalik arah menjadikan dia bagai terlahir kembali dengan segala bentuk cerita hidup yang baru untuk kemudian mendapat acungan jempol, simpati, puja-puji, hingga berbagai bentuk penyesalan setiap umat manusia yang merasa pernah mengenalnya dan pernah memperlakukan "Beliau" (bukan lagi ‘dia’) dengan tidak sepatutnya. Atau bahkan berjanji pada diri sendiri untuk dapat bersikap lebih arif dan bijak ketika kemudian harus kembali menjumpai manusia yang serupa seperti "Beliau" yang masih terhimpit dalam cerita kelamnya hidup yang harus disapa setiap hari.

Dan rasa-rasanya, untuk tekad yang terakhir itu akan sulit terjadi, karena menurut saya, manusia cenderung terlatih untuk tetap serupa seperti sebelumnya, sehingga cerita-cerita lain akan tercipta…

Lalu… Kemudian… Yang menjadi pertanyaan adalah, dimana posisi saya…?!?

Saya bukanlah manusia yang terlahir sebagai "Manusia Hebat" dengat segala kelebihan alami yang dimiliki. Dan saya juga, rasa-rasanya, tidak terlahir sebagai tokoh prontagonis dengan segala kisah derita dengan segala bentuk kehidupan dimana harus tersisih terlebih dahulu untuk kemudian kesabaran, pembelajaran hidup, hingga takdir yang merubah segalanya. (Atau Belum??)

Lalu, dimana posisi saya…?!?

Segala penderitaan saya tercipta hanya atas, entah kenapa, justru diri sendirilah yang selalu senang menyengsarakan diri sendiri! –(Apakah ini sebuah pernyataan absolut?!?!)– Dengan segala kelebihan yang sangat terbatas, yang juga rasa-rasanya tidak pantas untuk diubah kedalam kategori "Hebat", sekalipun hebat dalam kategori dasar! –(Apakah ini sebuah pernyataan arogan?!?!)

Lalu, dimana dong posisi saya…?!?!?!?! Lalu, akan seperti apa hidup dan kehidupan ini akan berjalan…?!?!?!?!?!

Ingin tertawa sekeas-kerasnya, betapa lucu ternyata hidup itu! Sekaligus menangisinya dengan teramat sangat! (LHA…?!?)

hmmm….
terlahir sebagai Si Hebat?!
Tidak terlalu istimewa, tetapi selalu menjadi khayalan yang menyenangkan bagi manusia. Karena disanalah pengharapan terindah bagi manusia dengan segala takdir hidup yang 'diduga' jauh lebih mudah dihadapi, termasuk oleh saya


Friday, December 18, 2009

Mendapati diri kebingungan dalam Tahlilan.

Beberapa hari terakhir, saya rutin turut serta pada 2 terakhir serangkaian 7 hari tahlilan atas meninggalnya ayah seorang sahabat. Sebuah tradisi yang terbilang sedikit asing buat saya, saya dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi tanpa tahlilan seperti ini. Ketika kedua kakek saya meninggal, masing-masing 13 dan 2 tahun lalu, orang tua saya berpesan bahwa tahlilan bukan kewajiban yang dilakukan secara bersama-sama dalam kurun waktu tertentu, melainkan kesadaran setiap individu atas keikhlasannya mengrimkan do'a bagi yang telah meninggalkan kapanpun dan dimanapun, baik itu dalam 7 hari setelah ditinggalkan, 10 hari, 50 hari atau kapanpun dengan bacaan do'a yang disunahkan rasul atau do'a dalam bahasa pribadi. Intinya, keikhlasan dan kesadaran individu itulah yang akan bernilai, menurut orangtua, karena dilakukan bukan karena sebuah tradisi atau ritual, melainkan kesadaran pribadi dan dilakukan secara benar-benar pribadi. Hanya diri pribadi dan Tuhan sebagai penilai, begitu menurut orangtua.


Kebingungan yang saya alami tersebut, kemudian, membuat saya mencari tahu dengan terbatasnya orang yang saya kenal dengan pengetahuan agama ditempat tinggal saya saat ini, saya mencari tahu dengan browsing-browsing internet tentu saja. Dan inilah yang saya dapatkan, 'Tahlilan Dalam Timbangan Islam', kurang lebih sama dengan yang orang tua saya selalu bicarakan.

Saya tidak berani berkata lebih, menyadari betul kapasitas saya dalam kurangnya pengetahuan agama dan minimnya implementasi agama dalam kehidupan sehari-hari saya. Hanya ingin berbagi atas beberapa hal yang sedikit menarik perhatian saya atas pengalaman 2 kali turut dalam acara tahlilan tersebut.

Saya besar di kota Bandung, tepatnya saya tinggal didaerah Bandung Timur yang dekat dengan perbatasan kabupaten semenjak saya duduk di SD, sehingga saya tak aneh dengan julukan daerah tempat tinggal saya sebagai Bandung Coret, Bandung Nyingcet, atau apapun itu, karena saya sendiri menyadari tempat saya tinggal tersebut memang cukup jauh dari pusat kota dan tidak 'ngota', tapi uniknya saya jarang mendapati ritual tahlilan seperti yang baru saya lihat baru-baru ini. Ritual tahlilan yang biasa dilakukan tetangga, hanya sekedar ritual sederhana, yang hanya benar-benar membaca sejumlah do'a-do'a.

Di tempat saya tinggal saat ini dikota Jakarta, bahkan ditengah-tengah pusat kota saya rasa, karena diapit Jl. Sudirman dan Jl. Kuningan, Saya mendapati ritual tahlilan dimana menurut informasi, pelayat saat men'salat'kan jenazah (untuk ini saya tidak turut serta karena tengah pulang ke Bandung), membawa amplop berisi uang yang yang diserahkan kepada keluarga yang berduka. Nampak seperti sebuah acara kondangan bukan? Entahlah, menurut informasi, ini adalah bagian dari tradisi, pihak keluarga tidak berhak meminta 'amplop', tapi kesadaran setiap pelayat saja. Kemudian ritual tahlilan setiap hari selama tujuh hari setelahnya, saya mendapati pemandangan dimana, setiap tetangga yang datang mengikuti ritual tersebut tidak hanya datang untuk turut serta 'mengirimkan' do'a bagi almarhum, tetapi atas ketertarikan sajian makanan, bingkisan makanan yang dapat dibawa pulang, dan sajian rokok. Tak jarang kemudian yang saya lihat dari setiap tetangga yang datang tersebut hanya sibuk mengumpulkan sajian yang sepertinya dapat dinikmati ditempat untuk kemudian berlomba untuk juga mendapat sebanyak-banyaknya untuk dibawa pulang, termasuk dengan rokok sajiannya. Kebingungan yang benar-benar saya dapati, menambah bingung dalam pembacaan ayat-ayat dan do'a-do'a, sehingga saya terkesan hanya sekedar berkomat-kamit, teralihkan atas perhatian melihat pemandangan 'unik' tersebut.

Sampai saait ini saya masih belum berani berkomentar lebih atas hal tersebut, hanya sebatas bertanya-tanya dalam hati sendiri tentang segala makna 'ritual tahlilan' yang saya lihat ini. Teringat bahwa saya sendiri cukup mengenal baik almarhum, merasa kehilangan teramat dalam, semasa hidup almarhum yang saya kenal sebagai sosok yang baik, hangat, menyenangkan, senang bercerita yang kemudian banyak mengundang tawa, dan terutama cukup banyak membantu saya secara pribadi, beliau seperti memposisikan sebagai orangtua pengganti orangtua kandung saya, dimana Ibu saya tinggal di Bandung, sementara Ayah saya sedang bekerja di Palembang, dan sayapun senang menghormati beliau seperti layaknya saya menghormati orangtua saya. Atas dasar segala kebaikan tersebut, apa saya sudah cukup pantas memberikan rasa menduka dan kehilangan saya pribadi hanya dalam ritual tahlilan tersebut? Turut serta mengirimkan do'a untuk kemudian menikmati sejumlah sajian makanan dan rokok, dimana setelah tujuh hari, empat puluh hari, kemudian saya hanya cukup sekedar mengingat almarhum saja?

Benar juga apa yang dikatan Bapak yang juga di'iya'kan Mamah, lebih baik secara pribadi dengan kesadaran dan keikhlasan yang benar-benar pribadi saja sepertinya.

Thursday, December 17, 2009

Grey Area



Terkekang dalam sebuah wilayah, berharap atas wilayah lainnya yang tak juga terjamah.
Berpasrah pada sebuah perbudakan diri akan dahaga yang tak juga diterangi sebuah kilau.

Mata yang begitu liar menggerayangi dunia,
Hati yang semakin menjerit meratapi,
Langkah kaki yang semakin membuahkan luka bernanah dalam mendaki,
Diringi ocehan mulut yang tak ada henti-hentinya dipenuhi segenggam harap.

Peluh menari-nari,
Aliran darah bergejolak,
Isakan batin bergemuruh.

Wilayah abu-abu sebagai kompromi terbaru antara pergulatan nurani dan harga diri.

Pembaharuan keyakinan atas dasar keyakinan sebuah keberadaan yang masih mampu menguatkan.

Proses pengupayaan yang mampu menunjukkan keajaiban bagi makhluk yang memiliki keinginan.

Atas dasar kepemilikan sebuah nafas kecil, diperuntukkan bagi nafas-nafas pemberi udara segar sang nafas kecil, terutama makhluk tak bernafas yang mampu menghembuskan nafas.
Saya pun milik Engkau!
Bagaimana mungkin saya harus berbeda??




Feels Like an Idiot!



Sepenuhnya menjadi orang yang tolol jika saya terus berpikir keseluruhan hidup hanya berbatas pada himpitan buram perjalanan buntu!

Tetapi pada akhirnya saya hanya sebatas manusia yang seringkali merasa jenuh pada dunia, kecewa akan realita, dan lelah akan upaya.

Kebuntuan telah menjadi pencapaian terbesar bagi kompromi diri atas hidup dan kehidupan.
Ketololan pula telah menjadi hasil terhebat bagi tekad yang semakin diracuni amarah dan gundah.

Tak dipungkiri ada tawa..
Tak dipungkiri ada suka..
Dan tak dipungkiri ada bahagia.

Tetapi, dimana harga diri yang kata mereka harus dimiliki setiap pria???


FEELS LIKE AN IDIOT!

Wednesday, December 16, 2009

I STILL REMEMBER!



Tanpa diduga ingatan itu hadir kembali!
Ingatan mungkin tidak akan bisa hilang, tetapi perasaan yang dirasa-lah yang tak terduga dirasakan masih sama ketika mengingatnya.

Ketika hidup baru menginjak babak baru yang orang bilang bukan lagi seorang anak, tetapi tak lagi remaja, entahlah jika sudah tergolong dewasa. Ya! Disaat usia baru dihargai dengan bilangan puluhan, bukan lagi belasan.

Ketika buaian hidup bahagia teralirkan melalui banyaknya tawa, kasih, hingga gelora yang kemudian menjadi tragedi dan porak-poranda hanya karena satu tetes air mata.

Ternyata pengalaman memang berharga!

Keberpihakan yang sama tak selalu terjadi setiap saat..

Iringan langkah yang selalu bersama, raihan tangan yang selalu ingin digapai berdua, tetapi tak pernah ada kata cinta, tak pernah merasa perlu mengumbar suka, hanya sekedar menjadi individu bagi dunia, bukan karena ingin menjadi rahasia, namun rasa yang harus menjadi berharga, ketika senyuman itu ada dikala bersama-sama memenajmkan mata.

Bagi usia yang baru dihargai bilangan puluhan, tentu ini bukan kali pertama, bukan pula penemuan perdana.

Disaat tak pernah ada kata cinta itulah, tiba-tiba seorang diri merasa menjadi pemula.
Disaat tak pernah ada kata cinta itulah, bibir ini menggetarkan rasa penuh aroma untuk pertama kalinya pada pejaman mata, hingga saat sesudahnya tak pernah ada hasrat untuk menjadikannya cerita bagi telinga-telinga yang ada, dan uniknya, tak pernah ada kata mengambarkannya sebagai salah satu bagian dari sejarah cinta seorang saya. Maka disitulah muncul luka..
Dan mungkin atas dasar rasa yang untuk pertama kali itulah, dia akan selalu abadi bagi saya..

Quiet is a new loud!



Ketika suara-suara itu terdengar kembali..
Suara-suara yang begitu merdu, tetapi tak ada yang tahu berasal dari wajah yang tengah sayu!
Teriring sebuah derap langkah yang begitu bisu memendam rasa pilu!

Tak ada keluh, walau raga dibanjiri peluh!
Tak ada airmata, bahkan ketika hati tengah meronta!

Namun jiwa masih mendamba rona..

Ketika bibir tak mampu berkata, karena begitu sulit menggambarkan yang tengah dirasa.
Amarah tengah bergejolak atas tangan yang begitu ingin memberi, tetapi kaki tengah terbentur rasa malu mendapati realita atas tangan yang diberi!

Batin pun tengah bergemuruh atas rasa yang begitu ingin menjamah,
Tetapi hati tak tergugah rasa rindu!
Walau tak lagi mendapati gelap, namun dunia dengan sedikit sinar ini masih terasa sepi..

Kekosongan diri yang tengah mengiba atas suatu upaya agar menjadi manusia yang mampu untuk tahu bagaimana menjadi manusia yang tahu diri, senang berbagi, dan mampu membalas budi..