Friday, December 18, 2009

Mendapati diri kebingungan dalam Tahlilan.

Beberapa hari terakhir, saya rutin turut serta pada 2 terakhir serangkaian 7 hari tahlilan atas meninggalnya ayah seorang sahabat. Sebuah tradisi yang terbilang sedikit asing buat saya, saya dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi tanpa tahlilan seperti ini. Ketika kedua kakek saya meninggal, masing-masing 13 dan 2 tahun lalu, orang tua saya berpesan bahwa tahlilan bukan kewajiban yang dilakukan secara bersama-sama dalam kurun waktu tertentu, melainkan kesadaran setiap individu atas keikhlasannya mengrimkan do'a bagi yang telah meninggalkan kapanpun dan dimanapun, baik itu dalam 7 hari setelah ditinggalkan, 10 hari, 50 hari atau kapanpun dengan bacaan do'a yang disunahkan rasul atau do'a dalam bahasa pribadi. Intinya, keikhlasan dan kesadaran individu itulah yang akan bernilai, menurut orangtua, karena dilakukan bukan karena sebuah tradisi atau ritual, melainkan kesadaran pribadi dan dilakukan secara benar-benar pribadi. Hanya diri pribadi dan Tuhan sebagai penilai, begitu menurut orangtua.


Kebingungan yang saya alami tersebut, kemudian, membuat saya mencari tahu dengan terbatasnya orang yang saya kenal dengan pengetahuan agama ditempat tinggal saya saat ini, saya mencari tahu dengan browsing-browsing internet tentu saja. Dan inilah yang saya dapatkan, 'Tahlilan Dalam Timbangan Islam', kurang lebih sama dengan yang orang tua saya selalu bicarakan.

Saya tidak berani berkata lebih, menyadari betul kapasitas saya dalam kurangnya pengetahuan agama dan minimnya implementasi agama dalam kehidupan sehari-hari saya. Hanya ingin berbagi atas beberapa hal yang sedikit menarik perhatian saya atas pengalaman 2 kali turut dalam acara tahlilan tersebut.

Saya besar di kota Bandung, tepatnya saya tinggal didaerah Bandung Timur yang dekat dengan perbatasan kabupaten semenjak saya duduk di SD, sehingga saya tak aneh dengan julukan daerah tempat tinggal saya sebagai Bandung Coret, Bandung Nyingcet, atau apapun itu, karena saya sendiri menyadari tempat saya tinggal tersebut memang cukup jauh dari pusat kota dan tidak 'ngota', tapi uniknya saya jarang mendapati ritual tahlilan seperti yang baru saya lihat baru-baru ini. Ritual tahlilan yang biasa dilakukan tetangga, hanya sekedar ritual sederhana, yang hanya benar-benar membaca sejumlah do'a-do'a.

Di tempat saya tinggal saat ini dikota Jakarta, bahkan ditengah-tengah pusat kota saya rasa, karena diapit Jl. Sudirman dan Jl. Kuningan, Saya mendapati ritual tahlilan dimana menurut informasi, pelayat saat men'salat'kan jenazah (untuk ini saya tidak turut serta karena tengah pulang ke Bandung), membawa amplop berisi uang yang yang diserahkan kepada keluarga yang berduka. Nampak seperti sebuah acara kondangan bukan? Entahlah, menurut informasi, ini adalah bagian dari tradisi, pihak keluarga tidak berhak meminta 'amplop', tapi kesadaran setiap pelayat saja. Kemudian ritual tahlilan setiap hari selama tujuh hari setelahnya, saya mendapati pemandangan dimana, setiap tetangga yang datang mengikuti ritual tersebut tidak hanya datang untuk turut serta 'mengirimkan' do'a bagi almarhum, tetapi atas ketertarikan sajian makanan, bingkisan makanan yang dapat dibawa pulang, dan sajian rokok. Tak jarang kemudian yang saya lihat dari setiap tetangga yang datang tersebut hanya sibuk mengumpulkan sajian yang sepertinya dapat dinikmati ditempat untuk kemudian berlomba untuk juga mendapat sebanyak-banyaknya untuk dibawa pulang, termasuk dengan rokok sajiannya. Kebingungan yang benar-benar saya dapati, menambah bingung dalam pembacaan ayat-ayat dan do'a-do'a, sehingga saya terkesan hanya sekedar berkomat-kamit, teralihkan atas perhatian melihat pemandangan 'unik' tersebut.

Sampai saait ini saya masih belum berani berkomentar lebih atas hal tersebut, hanya sebatas bertanya-tanya dalam hati sendiri tentang segala makna 'ritual tahlilan' yang saya lihat ini. Teringat bahwa saya sendiri cukup mengenal baik almarhum, merasa kehilangan teramat dalam, semasa hidup almarhum yang saya kenal sebagai sosok yang baik, hangat, menyenangkan, senang bercerita yang kemudian banyak mengundang tawa, dan terutama cukup banyak membantu saya secara pribadi, beliau seperti memposisikan sebagai orangtua pengganti orangtua kandung saya, dimana Ibu saya tinggal di Bandung, sementara Ayah saya sedang bekerja di Palembang, dan sayapun senang menghormati beliau seperti layaknya saya menghormati orangtua saya. Atas dasar segala kebaikan tersebut, apa saya sudah cukup pantas memberikan rasa menduka dan kehilangan saya pribadi hanya dalam ritual tahlilan tersebut? Turut serta mengirimkan do'a untuk kemudian menikmati sejumlah sajian makanan dan rokok, dimana setelah tujuh hari, empat puluh hari, kemudian saya hanya cukup sekedar mengingat almarhum saja?

Benar juga apa yang dikatan Bapak yang juga di'iya'kan Mamah, lebih baik secara pribadi dengan kesadaran dan keikhlasan yang benar-benar pribadi saja sepertinya.

No comments:

Post a Comment