Friday, February 16, 2018

Kisah Si Paimin

Artwork by Wokinhos.

Sekejap Paimin mendapati foto dirinya dimasa mungil. Dibalik senyum pemalunya saat itu, menyimpan sebuah pandora muram yang kemudian menyertainya sepanjang hidup, siang dan malam.

Selepas ia menyelesaikan ritualnya buang hajat, kemudian terperanjat pada sebuah ingatan sesaat. Serasa kemudian ingin menghujat. Kepada siapa ia layak menggugat?

Sesosok perempuan kemudian hadir menyertainya dalam segala cerita. Paimin tak pernah menuntut perlindungan ketika ia kecil dihardik begitu saja secara seksual oleh seorang lelaki menjelang dewasa. Tapi kepada siapa lagi ia berhak mengiba isyarat kasih sayang dan kelembutan yang nyata.

Di usia 23 tahun Paimin melarikan diri, menjauhkan diri dari perempuan itu yang semasa hidupnya tak cukup memberi, pun tak banyak meminta. Tapi cukup tahu bagaimana memaksa. Dengan kemahiran berkata-kata, perempuan itu mampu berkuasa.

Hampir sepuluh tahun kemudian, ia kembali. Berusaha untuk berbesar hati dan berbudi.

Perempuan yang melahirkannya itu kemudian mengetuk pintu, masuk kedalam kamarnya, lalu menyatakan di kota Makkah ia menemukan sebuah sejadah yang menurutnya terbaik dan sebongkah cincin yang ingin ia persembahkan untuk anak lelakinya yang menurutnya sudah terlalu lebih dari sekedar dewasa agar meminang dengan segera.

Dua benda yang melemparkannya pada sebuah senyum ironi. Satu benda sebagai sebuah simbol konsep ber-Tuhan yang sudah tak lagi ia pahami, satu lainnya sebagai simbol institusi pengikat hidup dalam sebuah lembaga pernikahan. Bukan ia tak menginginkan pernikahan. Menikah adalah mimpi terbesarnya. Tapi baginya, menikah adalah sebuah kesepakatan dalam konsep saling menemukan tanpa unsur paksaan yang bahkan tanpa harus dilegalisasi oleh agama dan hukum manusia manapun. Cukup mereka sebagai dua insan manusia kepada semesta untuk bersaksi dan menyerahkan diri.

Kemudian menyisakan seorang Paimin mematung dalam sebuah persimpangan pikiran bertubi. Satu sisi untuk membela diri, sisi lainnya tak sampai hati.

Tetapi semesta selalu membisikkan kalimat bijaknya; "Masih banyak cara lain untuk berbakti."





Notes:
Lingkaran CS Writers Club Bandung kamis malam lalu, 15 Februari 2018, dengan host Neneng Arta Harta Semesta menugaskan kami membuat sebuah cerita dengan tema besar analogi Ular Beracun, dimana masing-masing dari kami mendapat 3 kata berbeda yang terdiri dari kata benda, kata sifat, dan kata kerja dan harus menjadi pengiring cerita. Saya mendapatkan 3 kata; Pandora, Pemalu, dan Boker (yang saya ganti jadi Buang Hajat). Dengan rules menulis impulsive dalam 30 menit seperti biasanya, jadilah Kisah Si Paimin ini. 

 

No comments:

Post a Comment