Tuesday, December 14, 2010

Sudah Mau Jadi Ayah

Akhir pekan kemarin keluarga besar kami bisa berkumpul bersama dirumah orangtua kami. Adik yang datang berkunjung dari kediamannya kini, Bogor, dan juga teteh bersama suami dan putra pertamanya yang tengah ‘mengungsi’ tinggal dirumah orangtua karena rumah mereka yang masih direnovasi, juga sekaligus menanti kelahiran putra kedua teteh dan kakak ipar menjelang usia kandungan teteh yang kini 8 bulan. Sangat menyenangkan bagi kami setiap kali ada kesempatan untuk dapat berkumpul kembali secara utuh dalam satu atap rumah orangtua kami, setelah masing-masing dari kami 3 bersaudara memiliki jalan hidup masing-masing. Terlebih dengan hadirnya anggota keluarga baru, Adam Mulqiyattul Haq, putra pertama teteh, cucu pertama mamah dan bapak, sekaligus keponakan pertama saya.

Sudah pasti kehadiran Adam dirumah dengan segala tingkah polahnya yang polos dan lucu, semakin cerewet dan lantang sudah bisa menyampaikan keinginan dan berekspresi dengan kata-kata, dan karakter tak mau diam dan cukup pemberani untuk memenuhi rasa ingin tahunya sebagai balita yang kini berusia 18 bulan sebagai tokoh utama yang menarik keseluruhan perhatian kami kini. Masing-masing dari kami memiliki panggilan yang berbeda-beda untuk Adam. Teteh dan kakak ipar masing-masing memberi nama panggilan ‘Sayang Bunda’ dan ‘Sayang Ayah’, sementara sisanya memanggil Dam-dam, Jibrut, atau Aa Adam, dan saya memberi nama panggilan ‘Si Dudut’.

Kedekatan saya sebagai Om dengan Si Dudut adalah dengan memposisikan saya sebagai seorang teman ketimbang menjadi Om. Maka setiap kali ada saya, Si Dudut akan lebih senang membuat repot Si Om Syam sepanjang hari. Mulai dari pagi hari, pintu kamar saya bakal digedor-gedor dengan teriakan “Oooooooooom! Om Syaaaaaaaaaaaaaaaaaammm” terus-menerus sampai pintu saya buka, lalu bermain, berlanjut dengan makan siang yang harus ditemani Om Syam dengan memutar beberapa VCD atau DVD tontonan anak-anak sampai bobo siang yang biasanya menjelang sore. Berlanjut dengan mandi sore yang juga harus dimandiin Om Syam, karena dengan dimandiin Om Syam, Dudut bisa dikeramasi dan sikat gigi sambil tertawa, boleh mandi sambil loncat-loncat, berendem, main air sambil bernyanyi lagu-lagu dari tontonan Barney atau Wheels On The Bus. Kemudian berlanjut dengan kebiasaan kami jalan-jalan sore diseputar wilayah dekat rumah untuk bermain, lari kejar-kejaran, atau rebutan makan es krim strawberry kesukaan Dudut. Saking dekatnya kami, sampai kini hanya ada dua orang yang mau Dudut cium, tentu saja saya dan mamah atau neneknya.

Tetapi diakhir pekan kemarin itu Si Dudut sedang sakit demam. Untungnya, Adam tergolong anak yang tidak terlalu rewel dan masih lincah tidak mau diam walaupun sedang sakit demam cukup tinggi. Yang ada, kami yang cukup repot berusaha menenangkan Si Dudut untuk tidak bermain terlalu lincah atau berlari-lari terlebih dahulu. Hanya saja dimalam hari tidurnya tidak nyenyak, seringkali terbangun dengan tangisan karena demamnya.

Dan di suatu malam itu menjelang jam bobo Adam, dengan kantuk dan mungkin pengaruh demamnya, Si Dudut sedikit rewel tak mau dipangku siapapun, lalu menghampiri saya yang tengah duduk didepan laptop minta duduk dipangkuan saya untuk kemudian menjadi tenang dengan merebahkan kepalanya didada saya dengan wajah lugunya yang tengah sakit demam, pastinya mengundang iba orang dewasa. Saya pun lalu mengusap-usap rambutnya sambil bernyanyi pelan salah satu lagu Sherina ketika kecil yang jadi kesukaanya, kemudian tiba-tiba Si Dudut bangun dari rebahannya didada saya, membalikkan badannya, menatap saya dengan sayu, lalu tangan-tangan kecilnya memeluk saya, kemudian bangun lagi dan mencium pipi saya dua kali tanpa diminta dan kembali merebahkan kepalanya sambil memeluk saya. Sebuah perasaan yang luar biasa bagi saya mendapati pelajaran cinta tulus tanpa syarat dari seorang balita yang berusia 18 bulan. Jika saja tak ada anggota keluarga lain malam itu dan menyadari bahwa saya hanya sebagai seorang om, mungkin saya tak bisa lagi menahan haru saya.

Sebuah perenungan setelahnya tentang benar-benar sudah siapkah saya membina keluarga saya sendiri? Dan terlebih lagi, mampukah saya mendedikasikan keseluruhan sisa hidup saya untuk merawat dengan segala daya dan upaya menjadi penuntun dan pengantar jalan yang baik atas kehidupan-kehidupan baru dimana tak ada panggilan om bagi saya, melainkan ayah. Akan menjadi ayah macam apakah saya?




2 comments:

  1. sok syam,, di daokeun lah sing cepet nikah. tong poho ngundang2 nyak wkwkwk

    ReplyDelete
  2. Amien! Dengarkan do'a si matsany ya Allah.. :)
    kaleummm... maneh hayang jd pager bagusna ato MC-na? :p

    ReplyDelete