Friday, December 10, 2010

Tagore Buat Saya



Pertama kali saya mengenal Rabindranath Tagore adalah ketika saya masih duduk di Sekolah Dasar, sebagai bagian dari pelajaran sekolah saya waktu itu. Yang saya dapati ketika itu adalah beliau seorang penulis luar biasa walaupun tulisan-tulisannya sulit dicerna untuk bocah yang baru menginjak usia sepuluh tahun. Tetapi saya tahu bahwa saya langsung mengidolakan beliau ketika itu, dan saya semakin senang menulis secara terselubung karenanya, karena saya seringkali mendapat respon tawa yang entah sebagai wujud ejekan atau pujian atas tulisan-tulisan saya, tapi juga semakin giat mengirimkan tulisan-tulisan saya kepada surat kabar yang memiliki sisipan halaman anak-anak setiap minggunya demi upah wesel sepuluh ribu rupiah untuk setiap tulisan saya yang dimuat dan akan dilipat-gandakan jumlahnya oleh mamah, sebagai wujud apresiasi beliau untuk saya ketika itu.

Baru kemudian ketika saya mulai menginjak masa sekolah menengah atas, saya mulai memahami secuil karya-karya beliau yang cukup membekas dibenak saya dan benar-benar menjadikannya sebagai idola saya semenjak itu, seringkali meniru gaya penulisannya tetapi juga selalu gagal, terlebih saat itu saya mulai cukup sok' tahu memaknai hidup dan kehidupan, mulai menorehkan setiap apa yang ingin saya tulis pada sebuah buku kumal, dan semakin kumal kini, mengembara dengan apa yang tengah dirasa bersama pena. Sempat pula membaca beberapa buku kumpulan karya Jalaluddin Rumi yang dikenalkan oleh paman saya, tapi setelah beberapa lama, saya cukup menyerah untuk dapat memahami karya-karya Rumi yang cenderung pada karya seorang sufi, dan entah mengapa saya selalu menghindari memahami apa yang menjadi maksud tulisan-tulisan Gibran.

Rabindranath Tagore yang lahir di Joransko, jantung kota Kalkutta, pada tahun 1861 sebagai sosok yang mampu mendunia dengan adikarya dan pemikirannya yang juga monumental. Citra manusia universal yang membangun ideologinya melalui nilai-nilai tradisional. Penentang terdepan imperialisme barat pada abad 19, namun juga mampu menjebatani Timur dan Barat. Tagore merupakan seorang gurudewa dan humanis sejati yang syair-syairnya penuh dengan seruan lembut cinta, kemanusiaan, dan kedamaian, Gandhi bahkan pernah menjulukinya "The Great Sentinel".

Tagore sebagai sosok prototipe sastrawan India par exellence yang kata-katanya sarat dengan aroma spiritual dan nuansa mistisisme yang dalam, juga layak disejajarkan dengan penulis-penulis besar dunia yang lain. Banyak yang menyebutnya Goethe dari India, sebagian menempatkannya sebagai kutub perjumpaan Shakespear, Goethe, dan Voltaire. Beliau mendapatkan hadiah nobel kesusasteraan pada tahun 1913 lewat mahakaryanya Gitanjali: The Song of Offerings.

Memang dunia lebih mengenalnya sebagai seorang penyair, cerpenis, novelis, penulis roman, dramawan, dan esais yang jenius. Namun disudut lain, Tagore juga dapat dilihat sebagai sosok multifaceted man, manusia dengan beragam keistimewaan. Tak banyak yang tahu beliau juga mampu melukis, musisi yang telah mengciptakan lagu-lagu yang kini melegenda dan diramu dari hasil syair-syairnya sendiri, dan dia juga dapat dikategorikan sebagai seorang filsuf walaupun tak pernah menulis ataupun membangun aliran filsafatnya sendiri, namun roh filsafat menjiwai berbagai karyanya, seperti pada karya beliau berikut yang juga sebagai salah salah satu karya Tagore yang cukup membekas untuk saya hingga kini,

Tak ada yang hidup buat selamanya, saudara, dan tak satupun yang bertahan lama. Ingatlah itu dalam hati, dan bergiranglah.
Hidup kita bukan beban yang tua itu juga, jalan kita bukan perjalanan panjang itu juga.
Seorang penyair pastilah tak menyanyikan lagu lama yang satu itu juga.
Bunga layu dan mati, tetapi dia yang memakai bunga itu pastilah tak meratapinya untuk selamanya.
Saudara, ingatlah itu dalam hati dan bergiranglah.

Ada datang mesti saat peluang yang penuh untuk merangkai kesempurnaan menjadi musik.
Hidup bergayut pada senjakalanya untuk dibenamkan dalam bayang-bayang kencana.
Cinta mesti dipanggil dari permainannya untuk mereguk duka dan dilahirkan dalam sorga air mata.
Saudara, ingatlah itu dalam hati dan bergembiralah.

Kita bergegas mengumpulkan bunga-bunga karena takut bunga-bunga itu dirampas angin lalu.
Adalah mempercepat aliran darah kita dan menyinar-binarkan mata kita untuk merebut ciuman yang akan lenyap bila kita lengah.
Hidup kita bernafsu, hasrat kita berapi-api, karena waktu memukul lonceng perpisahan.
Saudara, ingatlah itu dalam hati dan bergiranglah.

Tak ada waktu bagi kita untuk mencekam sesuatu dan meremukkannya dan melemparkannya ke debu.
Jam-jam berloncatan menghilang dengan cepatnya sambil menyembunyikan impian-impian dalam gaunnya.
Hidup kita singkat, ia hanya memberikan sedikit waktu buat bercinta.
Andai ia untuk bekerja dan berkuli, akan jadilah ia panjang tak berakhir.
Saudara, ingatlah itu dalam hati dan bergiranglah.

Keindahan manis bagi kita, karena ia menari mengikuti selayang lagu yang sama dengan hidup kita.
Pengetahuan berharga bagi kita, karena kita tak akan pernah punya waktu untuk melengkapkannya.
Segala selesai dan berakhir di sorga abadi.
Tetapi kembang angan-angan duniawi dijaga kesegarannya dengan kekal oleh maut.
Saudara, ingatlah itu dalam hati dan bergiranglah.




Referensi:
- Iyengar, K.R. Srinivasa (Terjemahan). Rabindranath Tagore: A Critical Introduction, 1987 – Penerbit Pedati.
- Tagore, Satyendranath dan Indira Dewi (Terjemahan). The Autobiography of Maharshi Debendranth Tagore, 1916.


4 comments: